Rabu, 20 Oktober 2010

PERLUNYA PERCEPATAN PROSES LEGISLASI PUSAT DAN DAERAH

Indikator kinerja legislasi DPR RI tercermin dari capaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR telah menetapkan dalam Prolegnas 2010, sebanyak 70 rancangan Undang-undang menjadi target legislasi yang diselesaikan pada tahun 2010. Dari target perencanaan legislasi tersebut belum satu pun RUU yang sudah ditetapkan menjadi Undang-undang, padahal tahun 2010 sudah setengah berjalan, 14 RUU dibahas di tingkat komisi atau pansus, sedangkan DPR tinggal menyisakan 2 kali masa sidang lagi (Kompas, 14/6/2010). Dari rendahnya capaian tersebut, raport merah patut disandang DPR. Melihat kinerja legislasi DPR yang rendah bagaimana kondisi legislasi daerah?

Kualitas dan kuantitas legislasi merupakan salah satu parameter kinerja parlemen di samping fungsi lainnya seperti pengawasan dan penganggaran. Namun sejak terpilih dalam pemilu 2009, anggota DPR banyak terserap waktunya hanya pada salah satu fungsi saja yaitu pengawasan, bahkan melebar untuk mengurusi berbagai hal yang secara kodrati bukan wilayah kewenangan legislatif, seperti wacana penganggaran dana aspirasi yang angkanya cukup fantantis yaitu 15 milyar per orang. Wacana ini spontan mendapat reaksi negatif publik. Makanya tidak heran berbagai survei opini publik lebih sering menghasilkan kesimpulan masih tingginya citra negatif DPR.

Studi PSHK (2004) mencatat kinerja legislasi DPR Periode 1999 – 2004 dari segi kuantitas, mencapai hasil yang luar biasa. Tercatat 172 undang-undang dihasilkannya dalam waktu lima tahun ini. Ini merupakan angka tertinggi dalam sejarah lembaga perwakilan rakyat Indonesia, yaitu melampaui “rekor” sebelumnya yang dipegang KNIP tahun 1945-1950 sebanyak 135 undang-undang. Namun perlu dicatat bahwa 64 atau 37,4% dari 172 undang-undang itu merupakan undang-undang tentang pembentukan atau pemekaran wilayah yang proses pembuatannya biasanya cepat dan sederhana. Namun sayangnya, capaian kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas Undang-undang yang dihasilkan.

Buruknya capaian kinerja legislasi di tingkat nasional dapat menjadi cerminan kondisi legislasi daerah. Membandingkan kinerja legislasi DPR yang sudah mapan karena ditopang regulasi, supporting system serta penganggaran yang besar saja belum membuahkan kinerja legislasi yang baik, maka jangan harap kondisi yang baik terjadi di tingkat daerah, karena minimnya dukungan anggaran, dan regulasi yang sangat cepat berubah. Tengok saja misalnya UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang diundangkan Desember 2009 sekarang ini menjadi salah satu target Undang-undang yang akan direvisi.

Menilik Kinerja Legislasi Daerah
Lahirnya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau dikenal dengan UU MD3 salah satunya mengatur mekanisme penyusunan legislasi. Di tingkat daerah, mekanisme pengelolaan legislasi dibuat uniformitas dengan DPR RI melalui alat kelengkapan tetap yaitu badan legislasi daerah (balegda), dengan didukung alat kelengkapan lainnya, seperti badan anggaran, dan badan musyawarah (bamus). Berbeda dengan panitia legislasi (Panleg) pada masa kerja DPRD periode 2004–2009 lalu, keberadaan balegda di DPRD Propinsi, Kabupaten dan Kota sudah menjadi keharusan bagi pemerintahan daerah 5 tahun ke depan. Salah satu output terpenting adalah terumuskannya program legislasi daerah (prolegda) sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Semangat yang dibangun dari lahirnya UU ini adalah adanya percepatan proses legislasi di tingkat daerah yaitu perda serta upaya sinkronisasi bertahap yang sedang dirintis dengan mekanisme yang seragam dari pusat hingga daerah perihal penyusunan regulasi.
Uniformitas proses legislasi ini nampak dari fungsi balegda yang tidak berbeda dari baleg DPR RI. Demikian juga perencanaan legislasi juga mesti terprogram dari awal periode jabatan dalam bentuk program legislasi daerah (prolegda). Meskipun secara normatif sudah diatur mengenai pengelolaan program legislasi, namun di tingkat praksis masih banyak kegamangan anggota DPRD dalam menerjemahkan perintah UU tersebut.
Pemerintah juga sudah menerbitkan PP No.16 Tahun 2010 tentang tata tertib DPRD yang didalamnya diatur lebih rinci soal penyusunan peraturan daerah (perda). Namun demikian, keterbatasan kelompok ahli/pakar yang dipersyaratkan dari PP tersebut hanya sebatas jumlah alat kelengkapan DPRD membuat kinerja DPRD dalam menghasilkan perda sesuai dengan alur yang disyaratkan peraturan menjadi relatif mandul. Praktik yang terjadi akhirnya adalah duplikasi perda yang sama dari daerah lain tanpa mempertimbangkan kekhasan, sosio ekonomi, demografi dan aspek-aspek sosial lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan karena mentahnya proses legislasi tersebut maka banyak rancangan perda yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri, yang mendapat mandat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun bagi sebagian praktisi hukum, pembatalan perda oleh Kementerian Dalam Negeri tersebut menuai masalah baru. Hal itu disebabkan sesuai konstitusi RI, hanya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang berhak membatalkan produk–produk hukum di wilayah kedaulatan RI. Mekanisme judicial review atau peninjuan perda ini yang seharusnya patut menjadi perhatian dalam revisi atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi Prolegnas tahun ini.
Minimnya Perda Inisiatif
Sejak lebih satu dasawarsa kualitas Perda yang dihasilkan masih jauh membuahkan kesejahteraan masyarakat lokal, selain itu jumlah perda yang dihasilkan juga masih rendah yang berasal dari inisiatif DPRD. Minimal dari banyaknya Perda yang dianulir pemerintah pusat dapat menjadi indikator rendahnya kualitas Perda yang dihasilkan pemerintahan daerah. Data yang dirilis berbagai lembaga dan media, perda yang banyak dianulir biasanya terkait investasi dan retribusi daerah, yaitu sebanyak 2.665 Raperda dan Perda telah dibatalkan pemerintah pusat (2009). Sejak 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan mengevaluasi 1.121 Raperda, dimana 67% diantaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi Perda. Adapun dari 11.401 perda yang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan pemerintah pusat. Data tersebut hanya terkait dengan Perda dan Raperda retribusi dan pajak daerah belum persoalan publik lainnya.

Bilamana menilik banyaknya Perda dan Raperda yang dibatalkan sebagai indikator rendahnya kualitas legislasi daerah maka dibutuhkan adanya percepatan proses legislasi di daerah melalui peningkatan kapasitas anggota DPRD, terutama Badan Legislasi Daerah DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten dalam menghasilkan perda-perda inisiatif. Dukungan kelompok ahli dan penganggaran perda juga menjadi satu catatan penting untuk menghasilkan perda yang berkualitas. Namun tidak adil bila raport merah langsung diganjar kepada DPRD karena masih dibutuhkan infrastruktur regulasi yang mapan sebelum penilaian diberikan kepada kinerja legislasi DPRD. Dan membangun insfrastruktur regulasi yang menaungi keberdaaan DPRD sebagai parlemen sejati bukan ’quasi parlemen’ seperti halnya selama ini menjadi tugas serius DPR daripada menggulirkan wacana yang kontraproduktif di kalangan publik.

Percepatan Proses Legislasi
Menilik rendahnya capaian legislasi DPR dan juga lemahnya kapasitas daerah dalam mengelola program legislasi maka dibutuhkan adanya percepatan proses legislasi. Bilamana di tingkat pusat, DPR perlu memaksimalkan kapasitasnya sebagai ‘kuasa wicara’ rakyat dengan meningkatkan minimal dua aspek, pertama; kepekaan politik dalam menangkap aspirasi rakyat, serta kedua; kemampuan teknis dalam mengolah aspirasi menjadi Undang-undang. Ada penambahan apabila diterapkan di daerah (baca: DPRD) selain dua aspek di atas yaitu adanya konsistensi regulasi dalam mengatur tentang daerah dan tata kelola pemerintahannya.



Wawan Fahrudin
Direktur Program
Perhimpunan Badan Legislasi Daerah (Balegda) Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar