Rabu, 20 Oktober 2010

MARAKNYA PERDA DISKRIMINATIF KARENA REGULASI PUSAT TIDAK DIGARAP DENGAN TUNTAS

Jakarta, 7 Oktober 2010, Fenomena maraknya Peraturan Daerah (Perda) yang tidak berkualitas, salah satunya tercermin dari ketidakpekaan terhadap gender dan diskriminatif terhadap perempuan. Sumber utama penyebab munculnya Perda diskriminatif adalah dari regulasi, baik di tingkat UU maupun peraturan pelaksananya, yang tidak digarap secara tuntas. 

Meskipun sudah diterbitkan UU No.27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagai salah satu payung pengaturan pembentukan Perda, namun realitasnya amanat UU tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh anggota pemerintahan daerah terutama DPRD. Demikian juga lahirnya PP No.16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD yang salah satunya mengatur alat kelengkapan DPRD dalam bentuk Badan Legislasi Daerah juga belum menjadikan DPRD menghasilkan inisiatif Perda yang berkualitas. Malahan dalam PP No.16 tahun 2010, peran dan fungsi DPRD sebagai legislator daerah dibuat dibuat mandul terutama dalam membentuk Perda. Publik sempat berharap bahwa lahirnya UU dan PP tersebut akan mendorong lahirnya Perda-Perda inisiatif, namun ternyata harapan tersebut terpaksa harus disimpan kembali. Hal ini disebabkan Badan Legislasi Daerah yang seharusnya memiliki fungsi strategis,’diamputasi’ tugas pokok dan fungsinya sehingga berimbas pada mandulnya kinerja alat kelengkapan tersebut. Cermin kemandulan Badan Legislasi Daerah adalah dari jabatan ketuanya yang tidak melekat langsung (ex officio) pada ketua DPRD. Selain itu, pendeknya masa jabatan anggota yaitu hanya 1 tahun anggaran membuat kinerjanya makin tidak optimal.

Data yang dipaparkan oleh Komnas Perempuan bahwa selama 2009-2010, terdapat 63 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, dan 38 diantaranya mengkriminalkan perempuan (Kompas, 7/10/10) makin menguatkan kemandulan kinerja DPRD salah satunya akibat tidak tuntasnya regulasi pusat. Apalagi pengadaan kelompok ahli/pakar sangat terbatas, karena disesuaikan kebutuhan kemampuan APBD (pasal 301 dan 352 UU No.27 tahun 2009). Apabila mengacu pada regulasi tersebut, yang terjadi kemudian adalah tidak meratanya distribusi tenaga ahli. Dengan kata lain bahwa daerah yang APBDnya rendah atau daerah miskin bisa dipastikan kualitas Perdanya buruk karena tidak didukung oleh kelompok ahli yang cukup dan kapabel, karena tidak didukung anggaran yang memadai.

Oleh karena itu, fenomena buruknya kualitas Perda adalah layaknya fenomena gunung es atas proses otonomi daerah yang sekarang ini berjalan. Pemerintah pusat  yang melahirkan peraturan setingkat UU tidak memberikan ruang leluasa bagi daerah untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan pembatasan-pembatasan lewat pasal-pasal tertentu. Apabila  pemahaman pemerintahan daerah,  terutama DPRD, terhadap muatan gender dalam Peraturan Daerah atau Perda sangat minim sekali hal tersebut akhirnya membuat kita semua menjadi mahfum. Hal ini pula yang menyebabkan kapasitas DPRD dalam melahirkan Perda sangat rendah. Data Indonesian Local Legislator Association (ILLA), mayoritas kapasitas DPRD memprihatinkan terutama dalam penguasaan substansi dan alur regulasi pembuatan Perda.


Informasi lebih lanjut hubungi:
Ellena F. Manambe
President Director
Indonesian Local Legislator Assocatiation (ILLA)/Perhimpunan Legislator Daerah Indonesia
Telp. 021-29938552, faks. 021-29938553

Tidak ada komentar:

Posting Komentar