Rabu, 20 Oktober 2010

MARAKNYA PERDA DISKRIMINATIF KARENA REGULASI PUSAT TIDAK DIGARAP DENGAN TUNTAS

Jakarta, 7 Oktober 2010, Fenomena maraknya Peraturan Daerah (Perda) yang tidak berkualitas, salah satunya tercermin dari ketidakpekaan terhadap gender dan diskriminatif terhadap perempuan. Sumber utama penyebab munculnya Perda diskriminatif adalah dari regulasi, baik di tingkat UU maupun peraturan pelaksananya, yang tidak digarap secara tuntas. 

Meskipun sudah diterbitkan UU No.27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagai salah satu payung pengaturan pembentukan Perda, namun realitasnya amanat UU tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh anggota pemerintahan daerah terutama DPRD. Demikian juga lahirnya PP No.16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD yang salah satunya mengatur alat kelengkapan DPRD dalam bentuk Badan Legislasi Daerah juga belum menjadikan DPRD menghasilkan inisiatif Perda yang berkualitas. Malahan dalam PP No.16 tahun 2010, peran dan fungsi DPRD sebagai legislator daerah dibuat dibuat mandul terutama dalam membentuk Perda. Publik sempat berharap bahwa lahirnya UU dan PP tersebut akan mendorong lahirnya Perda-Perda inisiatif, namun ternyata harapan tersebut terpaksa harus disimpan kembali. Hal ini disebabkan Badan Legislasi Daerah yang seharusnya memiliki fungsi strategis,’diamputasi’ tugas pokok dan fungsinya sehingga berimbas pada mandulnya kinerja alat kelengkapan tersebut. Cermin kemandulan Badan Legislasi Daerah adalah dari jabatan ketuanya yang tidak melekat langsung (ex officio) pada ketua DPRD. Selain itu, pendeknya masa jabatan anggota yaitu hanya 1 tahun anggaran membuat kinerjanya makin tidak optimal.

Data yang dipaparkan oleh Komnas Perempuan bahwa selama 2009-2010, terdapat 63 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, dan 38 diantaranya mengkriminalkan perempuan (Kompas, 7/10/10) makin menguatkan kemandulan kinerja DPRD salah satunya akibat tidak tuntasnya regulasi pusat. Apalagi pengadaan kelompok ahli/pakar sangat terbatas, karena disesuaikan kebutuhan kemampuan APBD (pasal 301 dan 352 UU No.27 tahun 2009). Apabila mengacu pada regulasi tersebut, yang terjadi kemudian adalah tidak meratanya distribusi tenaga ahli. Dengan kata lain bahwa daerah yang APBDnya rendah atau daerah miskin bisa dipastikan kualitas Perdanya buruk karena tidak didukung oleh kelompok ahli yang cukup dan kapabel, karena tidak didukung anggaran yang memadai.

Oleh karena itu, fenomena buruknya kualitas Perda adalah layaknya fenomena gunung es atas proses otonomi daerah yang sekarang ini berjalan. Pemerintah pusat  yang melahirkan peraturan setingkat UU tidak memberikan ruang leluasa bagi daerah untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan pembatasan-pembatasan lewat pasal-pasal tertentu. Apabila  pemahaman pemerintahan daerah,  terutama DPRD, terhadap muatan gender dalam Peraturan Daerah atau Perda sangat minim sekali hal tersebut akhirnya membuat kita semua menjadi mahfum. Hal ini pula yang menyebabkan kapasitas DPRD dalam melahirkan Perda sangat rendah. Data Indonesian Local Legislator Association (ILLA), mayoritas kapasitas DPRD memprihatinkan terutama dalam penguasaan substansi dan alur regulasi pembuatan Perda.


Informasi lebih lanjut hubungi:
Ellena F. Manambe
President Director
Indonesian Local Legislator Assocatiation (ILLA)/Perhimpunan Legislator Daerah Indonesia
Telp. 021-29938552, faks. 021-29938553

PENANGGULANGAN BENCANA: RAMAI DI INTERNASIONAL, SEPI DI DAERAH

Jakarta, 4-10-2010, Pasca kejadian bencana di berbagai daerah menimbulkan kesadaran publik bahwa Indonesia ini selain didengung-dengungkan memiliki posisi strategis di sabuk khatulistiwa, namun juga berpotensi besar terhadap terjadinya bencana. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), penanggulangan bencana menghadapi banyak kendala, seperti banyaknya daerah rawan bencana, dimana dari 550 kabupaten sebanyak 175 kabupaten (30%) memiliki risiko tinggi. Kelembagaan di daerah sebagai pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana hingga sekarang belum banyak terbentuk.

Dalam pasal 25 UU No.24 tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa bahwa ’ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja badan penanggulangan bencana daerah diatur dengan peraturan daerah.’ Meskipun tidak menjelaskan sanksi apapun bagi daerah atas pelaksanaan mandat Undang-undang tersebut, namun demi kepentingan dan kemaslahatan masyarakat, pemerintah daerah seharusnya berinisiatif untuk membuat peraturan daerah tersebut.

Perubahan iklim global dan juga tidak tegaknya regulasi di daerah terkait dengan pengelolaan wilayah dan lingkungan juga makin memperparah kondisi kerawanan bencana tersebut. Kelembagaan penanggulangan bencana sebagaimana amanat Undang-undang seharusnya dibentuk di tiap-tiap jenjang pemerintahan dalam bentuk peraturan daerah. Namun hingga sekarang ini implementasi Undang-undang tersebut masih sangat minim. Pemahaman daerah terhadap pelaksanaan peraturan pusat tersebut juga masih meragukan. Sebagian besar daerah yang memiliki potensi rawan bencana hingga saat ini belum melaksanakan amanat Undang-undang tersebut. Padahal apabila terjadi bencana, tanpa adanya regulasi yang jelas akan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan dan saling lepas tangan sebagaimana selama ini jamak terjadi.

Memanfaatkan Momentum Internasional
Sementara itu dengung soal antisipasi bencana menguat di tingkat internasional. Bahkan Indonesia yang diwakili daerah Manado menjadi tuan rumah latihan internasional bencana dalam ’ASEAN Regional Forum Disaster Relief Exercise’ atau ’ARF Direx 2011’ yang diikuti oleh 27 negara. Menjadi ironi tatkala dunia internasional ramai menyerukan adanya antisipasi terhadap potensi bencana, namun justru daerah-daerah yang potensial bencana belum bereaksi. Minimal dari daerah yang sudah menerapkan dalam bentuk Perda hingga sekarang ini masih belum maksimal. Sayangnya perhelatan internasional yang dikerjakan pemerintah pusat di bawah koordinasi 9 kementerian (Kesra, Pekerjaan Umum, Sosial, Luar Negeri, Kesehatan, Perhubungan dan Pertahanan) ini tanpa melibatkan satu pun partisipasi daerah, kecuali tuan rumah acara tersebut. Padahal menilik pelaksanaan regulasi, daerah yang seharusnya lebih banyak menjadi sasaran sosialisasi terhadap antisipasi bencana dan manajemen pengelolaan bencana.

Gaung internasional ini seharusnya dimanfaatkan secara optimal dan direspon positif oleh daerah, baik pemda maupun legislatif (DPRD) dalam bentuk perda penanggulangan bencana. Daerah seharusnya dioptimalkan partisipasinya karena perhelatan internasional tersebut meliputi kerja interdep pemerintah pusat

Rendahnya Insiatif Pembentuk Perda
Problematikan regulasi baik di tingkat nasional maupun daerah adalah rendahnya inisiatif.  Semestinya fungsi perwakilan rakyat yang duduk dalam DPRD mampu mengisi kekosongan tersebut. Selain lemahnya inisiatif juga disebabkan kapabilitas pembentuk regulasi daerah yang belum optimal. Hal ini disebabkan kekurangan kelompok ahli dengan universitas-universitas maupun lembaga riset mengenai perda. Dari data, Indonesian Local Legislator Association (ILLA), masih banyak daerah yang belum paham terhadap proses pembentukan Perda sesuai denga UU No.27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dimana khusus untuk DPRD, peraturan pelaksana Undang-Undang tersebut dituangkan dalam PP No.16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD.


Informasi lebih lanjut:
Ellena F. Manambe
President Director
Indonesian Local Legislator Association (ILLA)
telp. 021-29938552, faks. 021-29938553

REVITALISASI PARPOL DALAM MELAHIRKAN PEMIMPIN DAERAH

Dalam konsepsi demokrasi terkandung azas dasar, yakni kedaulatan rakyat menentukan jalannya pemerintahan. Perwujudan azas kedaulatan rakyat ini dalam kehidupan pemerintahan sehari-hari tergambar dari dilibatkannya rakyat secara intensif dalam memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Ukuran kedaulatan rakyat dilihat dari semakin besarnya porsi peran yang dimainkan oleh rakyat, serta semakin selarasnya kepentingan rakyat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Disinilah, partai politik memainkan peran, yaitu menjembatani antara kepentingan rakyat untuk dapat diwujudkan dalam sebuah kebijakan. Walaupun terdapat banyak pandangan tentang partai politik, ada satu keseragaman dalam pandangan itu, yaitu bahwa partai politik memiliki sejumlah fungsi ideal dalam memperjuangkan kepentingan publik melalui suatu kompetisi kekuasaan (pemilu). Para ilmuwan politik mengidentifikasikan fungsi tersebut sebagai fungsi komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik, rekruitmen politik, dan pengatur konflik.
Partai politik merupakan embrio demokrasi perwakilan modern. Melalui sistem demokrasi, partai politik menampung berbagai aspirasi dan kepentingan yang berkembang di masyarakat untuk dapat diartikulasikan menjadi sebuah kebijakan. Selain itu, partai politik juga berfungsi sebagai agen untuk mereproduksi kader-kader pimpinan bangsa. Oleh karena itu, pertumbuhan partai politik pada hakikatnya merupakan cermin aspirasi masyarakat, yang membutuhkan wadah untuk mengelola berbagai kepentingan dan konflik. Pengelolaan konflik dan kepentingan dapat dipecahkan secara damai, dan menjadi salah satu tugas partai politik untuk menjembataninya. Partai politik juga dikenal sebagai organisasi yang mewadahi aspirasi dan kepentingan yang berkembang di masyarakat, sekaligus wadah untuk menempatkan kader yang potensial untuk meraih kekuasaan politik. Mekanisme meraih kekuasaan politik melalui mekanisme pemilu yang diadakan secara berkala.
Dalam konteks demokrasi modern, peralihan kepemimpinan diatur melalui pemilu secara berkala dan diikuti oleh konstentan dari partai politik. Pemilu sendiri berfungsi menciptakan pemerintahan yang kredibel, parlemen yang representatif, sirkulasi elit yang sehat, serta mewujudkan berfungsinya mekanisme check and balances di antara institusi-institusi politik.
Pengkaderan organisasi melalui partai politik, yang menjadi salah satu tugas partai politik pada gilirannya akan menciptakan calon-calon pemimpin bangsa yang memiliki visi dan misi ke depan dan siap bertarung dalam Pemilu. Pemilu sendiri merupakan mekanisme demokrasi, dan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Secara teoritis, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan, dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan.

Meritokrasi yang buntu
Pemilihan kepala daerah secara langsung (Pemilukada) yang merupakan mekanisme rekruitmen kekuasaan di daerah terus bergulir. Dinamika demokrasi yang berkembang di Indonesia pasca Orde Baru telah membawa wacana baru, bahwa ternyata penataan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak efektif apabila dikelola secara sentralistik. Oleh karena itu, muncullah wacana desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola daerahnya secara lebih luas namun bertanggung jawab dalam koridor wilayah kesatuan RI.
Wujud semangat desentralisasi adalah terciptanya pemimpin daerah yang langsung dipilih oleh rakyat melalui Pemilukada. Penyerapan aspirasi rakyat juga dilakukan melalui mekanisme demokrasi yang sehat dengan membuka peluang, bahwa keterwakilan dalam partai politik betul-betul mencerminkan keterwakilan masyarakat. Pemilukada inilah yang pada akhirnya akan menjembatani aspirasi rakyat daerah untuk memilih figur-figur yang dekat dan mewakili masyarakatlah yang berhak untuk duduk memimpin daerah tersebut.
Fenomena pemilukada yang banyak dimenangkan oleh Petahana merupakan satu fenomena yang dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi implementasi kebijakan, artinya Petahana tersebut telah dinilai berhasil oleh masyarakat sehingga diapresiasi dengan mayoritas suara dalam Pemilukada. Namun, dari sisi regenerasi parpol ini harus menjadi catatan bahwa hal tersebut membuka pintu terjadi kemacetan regenerasi kader parpol. Fenomena kemenangan Petahana  dan maraknya politic family dalam parpol juga membuat meritokrasi jenjang pengkaderan tidak berjalan dengan semestinya.  Pada akhirnya yang banyak muncul menjadi kepala-kepala daerah adalah figur-figur memiliki kemampuan finansial yang kuat dapat ’membeli’ kendaraan parpol yang akan mengusung dalam pemilukada. 

Revitalisasi parpol
Pemberlakukan aturan pemilihan kepala daerah Pemilukada langsung dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (hasil revisi UU 22/1999) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2005 termasuk langkah progresif bagi penataan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan Pemilukada langsung akan mencegah berbagai konspirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah (walikota/bupati). Selain itu, Pemilukada juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi.
Aspirasi rakyat selama ini dengan sistem yang lalu (sistem politik sentralistik) belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten. Padahal maju atau tidaknya suatu daerah banyak ditentukan oleh kiprah dan keteladanan pemimpin daerah tersebut. Pada tingkat tertentu bahkan pemimpin daerah sangat dominan dalam menentukan gerak arah pembangunan di daerah tersebut. Tugas partai politik adalah menciptakan regenerasi kadernya yang siap apabila terjadi peralihan kekuasaan.
Peran partai politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat, adalah bagaimana partai politik memiliki andil yang cukup besar dalam hal: (1) Menyiapkan kader-kader pimpinan politik; (2) Selanjutnya melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan; serta (3) Perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan-jabatan politik yang bersifat strategis. Makin besar andil partai politik dalam memperjuangkan dan berhasil memanfaatkan posisi tawarnya untuk memenangkan perjuangan dalam ketiga hal tersebut, merupakan indikasi bahwa peran partai politik sebagai sarana rekruitmen politik berjalan secara efektif.
Rekruitmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari cita-cita kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat luas.
Di satu pihak partai politik ikut memainkan peranannya dalam mewujudkan kehidupan demokrasi terutama karena partai politik menjadi wahana komunikasi antar elemen-elemen kemasyarakatan dan kenegaraan. Di pihak lain dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, partai politik juga dituntut untuk semakin eksis serta lebih berkualitas. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi.
Dengan demikian penataan kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan rakyat yaitu memberikan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang terpadu. Proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada partai politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggungjawab berdemokrasi.
Tampilnya kepala daerah berkualitas sudah menjadi kebutuhan cukup mendesak bagi proses pembaharuan di Indonesia -khususnya untuk mendorong pelaksanaan governance reform (reformasi pemerintahan)- dengan mengembangkan praktik-praktik demokrasi secara meluas yang mencakup penguatan pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan pendapatan ke tingkat bawah. Sebab, demokratisasi yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi tinggi dan tanpa disertai pemerataan rasa keadilan ke tingkat masyarakat secara meluas, pada akhirnya hanya akan menciptakan bom waktu sosial yang setiap saat bisa menimbulkan ledakan persoalan krusial dan menghambat terwujudnya kemapanan budaya demokrasi. Apalagi, ekses perdagangan bebas pada masa globalisasi yang mulai mendesak potensi usaha ekonomi mikro daerah juga memerlukan penanganan serius dan membutuhkan pemimpin yang memiliki kapasitas diplomasi ke tingkat internasional, serta strategi implementasi kebijakan untuk membawa daerahnya mampu bersaing dengan daerah lainnya, bahkan di tingkat internasional.
Wawan Fahrudin
Direktur Program
Perhimpunan Balegda Indonesia

PERLUNYA PERCEPATAN PROSES LEGISLASI PUSAT DAN DAERAH

Indikator kinerja legislasi DPR RI tercermin dari capaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR telah menetapkan dalam Prolegnas 2010, sebanyak 70 rancangan Undang-undang menjadi target legislasi yang diselesaikan pada tahun 2010. Dari target perencanaan legislasi tersebut belum satu pun RUU yang sudah ditetapkan menjadi Undang-undang, padahal tahun 2010 sudah setengah berjalan, 14 RUU dibahas di tingkat komisi atau pansus, sedangkan DPR tinggal menyisakan 2 kali masa sidang lagi (Kompas, 14/6/2010). Dari rendahnya capaian tersebut, raport merah patut disandang DPR. Melihat kinerja legislasi DPR yang rendah bagaimana kondisi legislasi daerah?

Kualitas dan kuantitas legislasi merupakan salah satu parameter kinerja parlemen di samping fungsi lainnya seperti pengawasan dan penganggaran. Namun sejak terpilih dalam pemilu 2009, anggota DPR banyak terserap waktunya hanya pada salah satu fungsi saja yaitu pengawasan, bahkan melebar untuk mengurusi berbagai hal yang secara kodrati bukan wilayah kewenangan legislatif, seperti wacana penganggaran dana aspirasi yang angkanya cukup fantantis yaitu 15 milyar per orang. Wacana ini spontan mendapat reaksi negatif publik. Makanya tidak heran berbagai survei opini publik lebih sering menghasilkan kesimpulan masih tingginya citra negatif DPR.

Studi PSHK (2004) mencatat kinerja legislasi DPR Periode 1999 – 2004 dari segi kuantitas, mencapai hasil yang luar biasa. Tercatat 172 undang-undang dihasilkannya dalam waktu lima tahun ini. Ini merupakan angka tertinggi dalam sejarah lembaga perwakilan rakyat Indonesia, yaitu melampaui “rekor” sebelumnya yang dipegang KNIP tahun 1945-1950 sebanyak 135 undang-undang. Namun perlu dicatat bahwa 64 atau 37,4% dari 172 undang-undang itu merupakan undang-undang tentang pembentukan atau pemekaran wilayah yang proses pembuatannya biasanya cepat dan sederhana. Namun sayangnya, capaian kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas Undang-undang yang dihasilkan.

Buruknya capaian kinerja legislasi di tingkat nasional dapat menjadi cerminan kondisi legislasi daerah. Membandingkan kinerja legislasi DPR yang sudah mapan karena ditopang regulasi, supporting system serta penganggaran yang besar saja belum membuahkan kinerja legislasi yang baik, maka jangan harap kondisi yang baik terjadi di tingkat daerah, karena minimnya dukungan anggaran, dan regulasi yang sangat cepat berubah. Tengok saja misalnya UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang diundangkan Desember 2009 sekarang ini menjadi salah satu target Undang-undang yang akan direvisi.

Menilik Kinerja Legislasi Daerah
Lahirnya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau dikenal dengan UU MD3 salah satunya mengatur mekanisme penyusunan legislasi. Di tingkat daerah, mekanisme pengelolaan legislasi dibuat uniformitas dengan DPR RI melalui alat kelengkapan tetap yaitu badan legislasi daerah (balegda), dengan didukung alat kelengkapan lainnya, seperti badan anggaran, dan badan musyawarah (bamus). Berbeda dengan panitia legislasi (Panleg) pada masa kerja DPRD periode 2004–2009 lalu, keberadaan balegda di DPRD Propinsi, Kabupaten dan Kota sudah menjadi keharusan bagi pemerintahan daerah 5 tahun ke depan. Salah satu output terpenting adalah terumuskannya program legislasi daerah (prolegda) sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Semangat yang dibangun dari lahirnya UU ini adalah adanya percepatan proses legislasi di tingkat daerah yaitu perda serta upaya sinkronisasi bertahap yang sedang dirintis dengan mekanisme yang seragam dari pusat hingga daerah perihal penyusunan regulasi.
Uniformitas proses legislasi ini nampak dari fungsi balegda yang tidak berbeda dari baleg DPR RI. Demikian juga perencanaan legislasi juga mesti terprogram dari awal periode jabatan dalam bentuk program legislasi daerah (prolegda). Meskipun secara normatif sudah diatur mengenai pengelolaan program legislasi, namun di tingkat praksis masih banyak kegamangan anggota DPRD dalam menerjemahkan perintah UU tersebut.
Pemerintah juga sudah menerbitkan PP No.16 Tahun 2010 tentang tata tertib DPRD yang didalamnya diatur lebih rinci soal penyusunan peraturan daerah (perda). Namun demikian, keterbatasan kelompok ahli/pakar yang dipersyaratkan dari PP tersebut hanya sebatas jumlah alat kelengkapan DPRD membuat kinerja DPRD dalam menghasilkan perda sesuai dengan alur yang disyaratkan peraturan menjadi relatif mandul. Praktik yang terjadi akhirnya adalah duplikasi perda yang sama dari daerah lain tanpa mempertimbangkan kekhasan, sosio ekonomi, demografi dan aspek-aspek sosial lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan karena mentahnya proses legislasi tersebut maka banyak rancangan perda yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri, yang mendapat mandat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun bagi sebagian praktisi hukum, pembatalan perda oleh Kementerian Dalam Negeri tersebut menuai masalah baru. Hal itu disebabkan sesuai konstitusi RI, hanya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang berhak membatalkan produk–produk hukum di wilayah kedaulatan RI. Mekanisme judicial review atau peninjuan perda ini yang seharusnya patut menjadi perhatian dalam revisi atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi Prolegnas tahun ini.
Minimnya Perda Inisiatif
Sejak lebih satu dasawarsa kualitas Perda yang dihasilkan masih jauh membuahkan kesejahteraan masyarakat lokal, selain itu jumlah perda yang dihasilkan juga masih rendah yang berasal dari inisiatif DPRD. Minimal dari banyaknya Perda yang dianulir pemerintah pusat dapat menjadi indikator rendahnya kualitas Perda yang dihasilkan pemerintahan daerah. Data yang dirilis berbagai lembaga dan media, perda yang banyak dianulir biasanya terkait investasi dan retribusi daerah, yaitu sebanyak 2.665 Raperda dan Perda telah dibatalkan pemerintah pusat (2009). Sejak 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan mengevaluasi 1.121 Raperda, dimana 67% diantaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi Perda. Adapun dari 11.401 perda yang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan pemerintah pusat. Data tersebut hanya terkait dengan Perda dan Raperda retribusi dan pajak daerah belum persoalan publik lainnya.

Bilamana menilik banyaknya Perda dan Raperda yang dibatalkan sebagai indikator rendahnya kualitas legislasi daerah maka dibutuhkan adanya percepatan proses legislasi di daerah melalui peningkatan kapasitas anggota DPRD, terutama Badan Legislasi Daerah DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten dalam menghasilkan perda-perda inisiatif. Dukungan kelompok ahli dan penganggaran perda juga menjadi satu catatan penting untuk menghasilkan perda yang berkualitas. Namun tidak adil bila raport merah langsung diganjar kepada DPRD karena masih dibutuhkan infrastruktur regulasi yang mapan sebelum penilaian diberikan kepada kinerja legislasi DPRD. Dan membangun insfrastruktur regulasi yang menaungi keberdaaan DPRD sebagai parlemen sejati bukan ’quasi parlemen’ seperti halnya selama ini menjadi tugas serius DPR daripada menggulirkan wacana yang kontraproduktif di kalangan publik.

Percepatan Proses Legislasi
Menilik rendahnya capaian legislasi DPR dan juga lemahnya kapasitas daerah dalam mengelola program legislasi maka dibutuhkan adanya percepatan proses legislasi. Bilamana di tingkat pusat, DPR perlu memaksimalkan kapasitasnya sebagai ‘kuasa wicara’ rakyat dengan meningkatkan minimal dua aspek, pertama; kepekaan politik dalam menangkap aspirasi rakyat, serta kedua; kemampuan teknis dalam mengolah aspirasi menjadi Undang-undang. Ada penambahan apabila diterapkan di daerah (baca: DPRD) selain dua aspek di atas yaitu adanya konsistensi regulasi dalam mengatur tentang daerah dan tata kelola pemerintahannya.



Wawan Fahrudin
Direktur Program
Perhimpunan Badan Legislasi Daerah (Balegda) Indonesia